Senin, 02 Maret 2015

JOURNEY 2: SUPPLIER SAPI



Setelah 1 tahun menjajaki bidang usaha limbah sapi alias jadi tukang pupuk, maka tahun 2010 saya pun mendapat kesempatan baru yang tantangannya lebih tinggi lagi, yakni menjadi suppliler atau pemasok sapi hidup untuk perusahaan penggemukan sapi ayah saya.
Alhamdullilah! Tukang pupuk naik kelas dikit jadi tukang sapi!



Berikut ringkasan cerita perjalanannya....



PELUANG ADA! MODALNYA? BISA DICARI!

"Ayahnya pengusaha sekaligus bos sapi di prusahaan ini, masa anaknya cuma ngurusin tai sapi", begitulah suara sumbang yang sering terdengar di kuping saya pada saat sedang mengurus bisnis pupuk pada saat itu. namun seperti pisau yang tumpul terus di asah akan tajam juga, begitu pun kondisi saya pada saat itu, terpacu ingin mencoba bisnis sapi juga dalam hati, namun bingung bagai mana harus  memulainya! salah satu karyawan ayah yang sering mengutarakan suara sumbang itu pula yang menantang saya untuk menjadi suplayer sapi, "Sudah mas ayo kita kirim sapi dari kampung saya di Banyuwangi ke jakarta, untungnya lumayan!". merasa tertantang, saya mulai ngobrol dan merayu ayah untuk meng izinkan mengirim sapi ke kandangnya. namun ayah saya mematahkan semangat saya bahwa "ayah tidak menginginkan kamu berbisnis sapi" namun setelah proses lobi yang cukup panjang akhirnya ayah meng izinkan saya men suplay sapi ke kandang nya namun dengan catatan harga dan spesifikasi yang diberikan ke saya lebih ketat dari suplayer lain. karena ayah ingin menjaga berjalan nya bisnis nya tanpa mengganggu harga dan kualitas suplayer lain.
tantangan yang kedua adalah saya tidak diberikan uang sepeser pun dari sang ayah. Maka, saya pun berpikir. Modal beli sapinya dari mana?

Sekalipun tak punya modal uang, saya menyadari bahwa saya punya modal yang lain, yakni modal sosial. 
He he! 

Saya mengajak seorang teman lama di SMA dulu yang kebetulan saat itu ia dan orangtuanya berencana ingin memutar uang dengan membuat sebuah lapangan futsal. Lalu, saya pun mengajak mereka untuk mempercayai saya dengan menggunakan uang mereka sebagai modal berbisnis menjadi supplier sapi. Setelah sepakat dengan pembagian hasil, maka atas restu orang tua, saya dan sang teman akhirnya menelusuri wilayah Jawa Timur untuk membeli kurang-lebih 25 ekor sapi. Lika-liku perjalanan mengunakan bus umum Jakarta-Jawa Timur sangat tak terlupakan! Pengalaman salah naik bus, kesasar, di tipu blnatik serta mafia sapi dan sebagainya menjadi pemanis perjalanan usaha yang baru dijajaki ini.



DIMANA BELI SAPI?

Di Indonesia, ada beberapa wilayah yang dijadikan sentra produksi sapi. Wilayah tersebut merupakan daerah yang terdapat lahan memadai sebagai ekosistem berkembangbiaknya sapi. Wilayah sentra produksi sapi tersebut terbagi atas beberapa wilayah, antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Berbagai daerah tersebut terdapat pasar-pasar hewan yang menjadi pusat jual-beli sapi. Salah satu dareah yang paling banyak terdapat pasar hewan adalah di Jawa Timur. Untuk selengkapnya bisa dilihat pada link berikut:

http://disnak.jatimprov.go.id/web/usahapeternakan/pasarhewan



PROSES TATA-NIAGA SAPI POTONG

Pengalaman saya menjadi seorang supplier sapi hidup selama kurang-lebih 5 tahun membuat saya lebih peka dalam melihat proses perdagangan sapi potong di Indonesia.
Ternyata menarik.

Menariknya ada pada proses tata-niaga yang panjang. Seperti apa prosesnya?

Berikut adalah dokumentasi dari Asosiasi Pedagang Daging Seluruh Indonesia  (th 2013) yang menggambarkan rantai perdagangan daging di Indonesia pada saat itu:







Jika bisa disimpulkan, tata niaga sapi potong yang digambarkan di atas sederhananya adalah sebagai berikut:

SENTRA PRODUKSI -> PEDAGANG PERANTARA (BLANTIK) -> SENTRA KONSUMSI


Apa yang membuat tata niaga ini menjadi panjang?
Tidak lain dan tidak bukan adalah keberadaan pedagang perantara sapi atau yang dalam istilah Jawa dikenal sebagai "Blantik". 

Kondisi geografis Indonesia adalah salah satu pemicu yang memunculkan adanya profesi Blantik di negeri ini. Panjangnya jarak antara sentra produksi sapi (wilayah NTT, NTB, Bali, Jatim dan Jateng) dengan sentra konsumsi di Indonesia (Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera, Kalimantan dsb) menimbulkan tumbuhnya peluang usaha perdagangan yang diperankan oleh pedagang perantara, yakni Blantik.



Blantik yang ada di Indonesia terdiri dari;

-Blantik Desa:  yakni aktor penjual sapi yang berperan dari peternak desa ke pasar hewan atau langganan di desa setempat

-Blantik menetap: karena peran nya yang memiliki karakter jual sapi hanya di satu pasar hewan.

-Blantik berpindah jarak dekat :disebut juga 'berpindah jarak dekat' karena perjalannan pemindahan penjualan sapi nya yang cukup dekat biasanya antar kabupaten

-Blantik jarak jauh:  'jarak jauh' karena pemindahan penjualan sapi yang jaraknya relatif jauh yakni antar provinsi, biasanya pengiriman ke pasar hewan provinsi lain, rumah penggemukan sapi atau langsung ke rumah potong hewan di dekat sentra konsumsi.


Pola nya seperti berikut:

BLANTIK DESA -> BLANTIK MENETAP -> BLANTIK BERPINDAH


Dari para blantik itulah, sapi potong yang ada di wilayah sentra produksi dapat didistribusikan ke berbagai wilayah sentra konsumsi di Indonesia.




Dokumentasi pribadi (2010):
Saya saat pertama kali mengantar sapi yang dibeli di beberapa pasar hewan di Jawa Timur untuk dikirim ke Sentul, Bogor.




DAMPAK TATA NIAGA SAPI YANG PANJANG

Tak heran jika harga daging sapi menjulang tinggi di Indonesia. Selain karena jumlah sapi yang tidak melimpah (meskipun tidak sedikit juga), jarak yang jauh antara sentra produksi dan sentra konsumsi mengakibatkan adanya rantai perdagangan sapi potong menjadi panjang, sehingga harga sapi hidup yang diterima di wilayah sentra konsumsi sudah tinggi. Ketika sapi hidup tersebut dipotong menjadi daging di wilayah sentra konsumsi, maka harga jual daging tersebut juga menjadi tinggi.




APA YANG BISA MENJADI SOLUSI BAGI TATA NIAGA SAPI YANG PANJANG?

Tentunya pihak pemerintah perlu bekerja sama dengan melakukan kemitraan bersama pengusaha dan masyarakat untuk mempersingkat tata niaga yang panjang ini.


Salah satu bentuk solusi yang real?
1. Melakukan perdagangan daging sapi dengan sistem rantai dingin dari sentra produksi langsung ke sentra konsumsi. *dengan catatan sapi yang gemuk atau yang telah afkir. Jadi yang didistribusikan bukan sapi hidup, melainkan daging yang sudah siap olah dari sentra produksi dengan kondisi beku untuk diantar ke sentra konsumsi. Kondisi ini akan membuat harga daging di sentra konsumsi lebih murah.


Seperti apa langkahnya?

Pemerintah: memberikan kemudahan perizinan bagi pihak pengusaha untuk melakukan usaha pembibitan sapi, pemeliharaan sapi, hingga pemotongan sapi di wilayah sentra produksi. Pemerintah juga dapat membantu pengusaha untuk mensosialisasikan manfaat daging beku kepada masyarakat di wilayah sentra konsumsi.

Pengusaha: melakukan usaha pembibitan dan pemeliharaan sapi dengan kemitraan bersama warga atau petani di wilayah sentra produksi, lalu sapi yang sudah panen dipotong untuk didistribusikan dagingnya ke sentra konsumsi

Masyarakat: Bagi masyarakat yang ada di wilayah sentra produksi, seperti petani dan warga setempat dapat bermitra dengan pengusaha untuk melakukan pembibitan dan pemeliharaan sapi hingga panen. Sedangkan masyarakat di wilayah sentra konsumsi dapat mendukung program ini dengan mengkonsumsi daging beku yang telah diproduksi dari sentra produksi tersebut.


Program tersebut sebenarnya sudah mulai berjalan yang dilakukan oleh salah satu perusahaan daging lokal. Saya akan mempublikasikannya dengan bangga :) Silahkan membuka link berikut:

http://www.herbeef.com/

Herbeef telah melakukan penjualan daging beku dari sentra produksi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dengan mendistribusikannya langsung ke sentra konsumsi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat dan sekitarnya.
Daging Herbeef diproduksi dari sapi-sapi Bali yang ada di wilayah Sumbawa, yang dikenal dengan jenis Bali Grass-Fed, yakni sapi Bali yang hidup di padang gembala, sehingga hanya mengkonsumsi rumput hijauan, tanpa pakan bahan kimia. Jenis daging ini sekalipun didistribusikan secara beku, namun nilai gizinya sangat tinggi karena kandungan makanan hijauan yang dikonsumsi sapi tersebut mengandung banyak vitamin dan lemaknya sedikit.


Ini hanya salah satu solusi yang bisa ditawarkan bagi pemerintah, pihak pengusaha, dan masyarakat setempat.


Lalu, pertanyaannya, apakah daging beku bagus dikonsumsi?
Jawaban saya atas pertanyaan ini bisa dilihat pada artikel saya yang lain, ya! :)


Bagi saya, pengalaman sebagai supplier sapi menghasilkan output yang menarik melalui tulisan ini. Dengan demikian, kita sama-sama bisa merekam proses perdagangan sapi potong secara umum di Indonesia.

Panjang, rumit, dan menantang kita untuk mengubah cara berpikir.

Kira-kira seperti itulah proses tata niaga sapi di Indonesia yang masih terlihat sampai saat ini.

2. Sapi yang kurus dapat di kirim ke sentra konsumsi lalu di gemukan 100-120 hari dengan pakan bernutrisi tinggi yang didapat dari limbah makanan berprotein tinggi agar gemuknya maksimal setelah itu di potong  sebagai pemenuhan daging segar. karena terkadang ibu-ibu lebih senang daging yang masih ber darah-darah.

hahahahaha seperti ibu saya!


*SESI MENYANYI*

Lagu ini membuat saya sadar, setelah menelusuri pelosok desa pertama kalinya di Jawa Timur bersama sang teman SMA untuk mencari sapi, ternyata pengalaman ini membuat saya semakin tertarik dan tertantang dengan sapi dan kebutuhan daging di Indonesia.


Hmmm.. after all...
by: Sondre Lerche



I like you too much
After too little time
I hold back my heart's crazy rambling
The fear that I should overwhelm your smile
Frightens the spiders inside me

Oh this could be magic
After all, after all





Ada ide lain menanggapi kondisi perdagangan sapi di Indonesia saat ini? :)


1 Komentar:

Pada 12 Desember 2015 pukul 02.27 , Blogger Unknown mengatakan...

Tulisan bagus dan jelas.

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda